Minggu, 16 September 2018

Cerpen | Saat Bintang Terjatuh (bagian 2)


Sejak saat itu, aku dan Lamda menjadi dekat, persis seperti yang kuharapkan tatkala melihat bintang jatuh. Setiap malam, kami selalu bertemu di trotoar, persis di depan toko buku. Hal itu terus terulang, sampai akhirnya Lamda mengajakku berjalan ke pasar malam yang dibuka di sekitar tempat kami biasa bertemu. Kami berjalan sampai ke ujung salah satu toko yang berjejer rapi di samping trotoar. Di seberang jalan, terlihat bianglala yang bercahaya, komedi putar, dan stan-stan makanan.
Jantungku berdegup kencang tatkala Lamda menggenggam tanganku dengan kuat saat kami menyebrang jalan. Namun, dia buru-buru melepaskannya saat kami sampai di pasar.
“Jangan salah paham,” katanya sambil memalingkan wajah dariku dan mengelus tengkuknya. “Aku menggenggam tanganmu karena sepertinya kamu enggak bisa nyebrang. Kalau kamu tertabrak mobil, aku yang repot. Aku enggak mau kamu merepotkanku.”
“Yah, padahal aku ju-juga bisa nyebrang sendiri,” Aku menunduk sembari mengatur detak jantungku yang semakin tidak karuan. Setelah itu, aku menunjuk bianglala yang berada tak jauh dari kami. Aku ingin sekali naik itu, toh aku juga ingin merasakan kebahagiaan bersama Lamda. Maksudku, aku ingin Lamda bahagia meskipun aku tahu kehidupannya penuh dengan rasa sakit. Sepertiku, dia berjalan sendirian di trotoar. Merenungi hidup, sama sepertiku.
“Ayo naik bianglala itu.”
“Yang benar saja, lebih baik kita duduk di atas kursi panjang itu,” Lamda menunjuk kursi panjang kosong yang tadi kami lewati, lalu menatapku dengan tatapan memelas. “Sedari tadi kita sudah berjalan jauh. Aku capek.”
“Lamda, kita berjalan ke sini dari tempat kita ketemu itu cuman makan waktu lima menit…,” Omonganku terhenti begitu Lamda terus memasang tampang memelasnya. Aku menghela napas. “Oke, oke,” kataku. “Kalau begitu ayo kita istirahat dulu, baru naik bianglala. Ngomong-ngomong kamu kelihatan kayak kucing, sumpah.”
“Kalau aku terlihat seperti kucing, mungkin kamu tikusnya.”
“Enggak, bahkan terkadang kamu terlihat seperti beruang,” Aku menghempaskan diriku di atas kursi, kemudian menatap ke atas langit bertabur bintang. Membentuk konstelasi dengan beragam bentuk, mereprentasikan berbagai legenda yang dipercayai oleh Yunani.
“Siapa yang mengajarimu ngomong kayak gitu?”
“Ya kamu. Mau siapa lagi?"
Hening seketika. Aku masih menatap langit sampai akhinya kurasakan ada tangan yang menggenggam tanganku, lalu mengaitkan jari-jarinya dengan jari-jariku. Sontak, aku menoleh ke arah si beruang yang ada di sampingku. Rupanya, dia tertidur. Namun, dia juga terus mengaitkan jari-jarinya padaku sambil bergumam tidak jelas. Wajahnya terlihat lelah.
“Kamu pasti benar-benar lelah, kan?” Aku berbicara padanya, namun sebenarnya aku berbicara sendiri karena Lamda sedang tidur, terbuai oleh angin malam. Untungnya kami berdua selalu memakai jaket tebal. “Lamda yang aku tau adalah seorang penulis berbakat, sangat berbakat. Lamda selalu menyemangati orang-orang yang membaca karyanya untuk mengejar mimpi-mimpi mereka. Kamu hanya perlu menunggu tiga tahun lagi, tiga tahun itu enggak akan lama kalau dibandingkan dengan lamanya kamu menyimpan rasa sakit itu. Sama sepertimu, aku juga sangat tertutup pada dunia. Selalu menatap dunia dengan dingin, tetapi sebenarnya kita sangat ambisius.”
“Aku terinspirasi oleh banyak hal darimu,” lanjutku. “Sebelum bintang jatuh dan harapanku terkabul, aku adalah calon istrimu…ah, maksudku seorang fans fanatik dari masa depan yang berharap akan bertemu denganmu dalam masa-masa kamu masih bocah seusiaku. Seorang anak berusia 17 tahun yang bergelut dengan mimpi, aku ingin merasakan hari-hariku bersamaku. Terakhir, kuucapkan terima kasih atas fanservice-nya selama ini. Tetapi, sebenarnya kamu melupakan satu hal. Bahkan kepadaku, kamu masih menyimpan erat-erat rasa sakit yang kamu rasakan. Padahal, aku juga ingin merasakannya.”
Mendadak, dia terbangun. “Kenapa kamu mau merasakan sakitku?” tanyanya dengan suara serak.
Aku tersentak, jantungku memburu. “Kamu dengar ucapanku tadi?”
“Ya.”
“Bukannya kamu tidur?”
“Enggak, aku pura-pura tidur,” Dia terkekeh.
Menyebalkan.
“Aku tau kalau aku hanya perlu menunggu tiga tahun,” kata Lamda. “Tiga tahun sampai aku dipuja-puja. Tetapi, orang-orang itu berlebihan. Kenapa mereka harus memuja-mujaku secara berlebihan? Aku hanya manusia biasa, bahkan sampai kulitku keriput seperti kakek-kakek pun aku juga tetap manusia, bukan dewa. Sama sepertimu, kamu yang nanti akan selalu menyebut namaku di dalam hatimu, kan?”
Aku melongo. Apa yang dia bicarakan?
Tetapi, pada akhirnya aku hanya mengiyakan.
“Padahal, sebenarnya kita enggak ada hubungan sama sekali. Aku enggak habis pikir…”
Tiba-tiba, aku tersadar. Kalau dia memang benar Lamda, dia tidak mungkin tahu apa yang akan terjadi tiga tahun ke depan. Mungkinkah… bintang jatuh yang kulihat waktu itu adalah awal dari ilusi? Mendadak jantungku berdegup kencang. Aku menelan ludah.
“Jadi, kamu bukan Lamda?”
“Memang bukan,” Lamda menanggapiku dengan santai, kemudian melepaskan tangannya dariku. “Aku Lamda yang tercipta dari alam bawah sadarmu,” katanya. “Sejak kita bertabrakan di atas trotoar depat toko, kemudian menjadi dekat, aku bukanlah Lamda dari masa lalu. Tetapi, aku adalah apa yang ada di dalam pikiranmu.”
Aku mengerjap-ngerjap. Dengan kurang ajarnya aku berpikir, sepertinya Tuhan sedang mempermainkan aku. Sejak awal jatuhnya bintang, kemudian aku berlari dan menabrak ‘Lamda’, makan malam bersama di restoran, saling bertemu setelah itu dan berakhir dengan duduk bersama di pasar malam, Lamda itu bukanlah Lamda dari masa lalu? Tuhan, aku mencintai Lamda. Sangat mencintainya. Aku ingin merasakan sakitnya, aku ingin bahagia bersamanya. Mengapa ini semua sangat kejam untukku?
“Enggak, kamu enggak dipermainkan. Ini hanyalah teguran halus,” kata Lamda. “Saat kamu makan, kamu berpikir apakah aku sudah makan atau belum. Saat kamu tidur, kamu berpikir apakah aku sempat tidur atau tidak. Saat aku menangis, kamu akan ikut menangis. Saat aku tertawa, kamu akan ikut tertawa. Tetapi, duniamu menjadi sempit karenanya. Kamu menjadi buta dan tuli sama hal-hal di sekitarmu, karena duniamu sendiri adalah aku, duniamu adalah Lamda.”
Aku menggeleng, ini benar-benar menyakitkan. Setelah bergelut dengan perasaanku sendiri, seketika logika kembali menguasaiku. Sebenarnya, aku dan Lamda punya hubungan apa? Kami memang tidak jauh berbeda. Kami sama-sama dingin, ambisius, dan merasa rapuh di dalam. Hanya saja, Lamda terlihat lebih kuat. Ada begitu banyak orang yang mencintainya, dan dia tidak tahu aku. Jadi, kalau aku meninggalkannya mungkin dia tidak akan peduli. Tetapi, naluriku kembali memberontak. Sebenarnya aku adalah bagian dari Lamda, jadi aku tidak mau meninggalkannya.
Sial, ini benar-benar ujian untukku. Tuhan sekarang tengah mengujiku, apakah aku akan memilih diriku sendiri atau hidup Lamda yang sebenarnya tidak ada hubungannya denganku, seperti dipisahkan oleh jurang yang lebar.
“Saat kamu sedih dan hatimu merasa kosong, kamu menjadikan fotoku, video anehku selama di Amerika atau Hongkong, dan buku-bukuku yang memang memotivasi. Aku juga buat lagu di Youtube, dan kamu selalu menikmatinya tengah malam sembari menangis. Kamu memang merasa tenang, tetapi setelah itu hatimu kosong lagi. Kamu selalu menangis tanpa sebab, dan saat itu kamu mengingatku. Lalu kapan kamu mengingat Tuhan? Aku cuman manusia, kamu lebih butuh yang paling berkuasa untuk hati kosongmu.”
Hatiku merasa tersentil.
Kecintaanmu terhadap sesuatu membuatmu buta dan tuli, Sonia.
Aku tidak mau lagi memikirkan Lamda, aku hanya ingin sebatas mengaguminya saja. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah terlanjur buta dan tuli. Sembari merenung, aku mengalihkan tatapanku ke atas langit. Seketika, kulihat bintang jatuh di dekat rembulan berbentuk setengah telur dadar. Mulutku komat-kamit, aku memanjatkan doa kepada Tuhan yang sudah menegurku saat bintang terjatuh.
Terkadang, Tuhan memang tidak mengabulkan apa yang kita inginkan. Karena Tuhan tahu, hal itu sebenarnya tidak baik untuk kita. Aku mencintai Tuhan, aku ingin mencintai-Nya lebih dari Lamda. Lamda hanya manusia yang tidak pernah merindukanku. Sejatinya, hanya Tuhan yang merindukan aku. Dia membuat hatiku terus kosong, bahkan saat aku melihat Lamda sekalipun. Dia melakukan hal itu agar aku bisa mengisi hatiku dengan nama-Nya.
Sejak saat itu, aku bertekad untuk menghapus nama Lamda demi kebaikanku sendiri.

--**--**--

(Bersambung ke part terakhir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Esai Part 2 | Identitas Nasional