Malam itu, di bawah kumpulan konstelasi dan cahaya rembulan yang berbentuk seperti setengah telur dadar, aku berjalan sendirian menyusuri kota. Kurapatkan jaket hitam tebal kesayanganku untuk menghalau angin yang berusaha untuk menusuk. Langkahku berjalan menyusuri trotoar, berpapasan dengan orang-orang yang berjalan bersama-sama. Lampu di sudut-sudut pertokoan seakan menampilkan etalase dengan barang-barang yang terpajang dengan apik di sana, serta buku-buku best seller dengan judul yang sama. Ketika aku melewati toko televisi, wajah yang sama muncul di balik layar yang berjajar memenuhi etalase.
Aku menghela napas. Siapa yang tidak mengenalnya?
Lamda. Seorang laki-laki berusia 20 tahun yang terlihat
dingin, dan wajahnya pucat seperti vampir yang biasa kulihat di film-film.
Namun, terkadang dia juga terlihat seperti anak kucing dalam kardus yang
menunggu pengasuh. Popularitas menyelubungi wajahnya, dia seperti wajah baru
dunia. Buku-buku karangannya berjejer di seluruh toko buku, toko buku di seluruh
belahan dunia. Para gadis berbisik-bisik membicarakannya, mengagumi segala
aspek dari dalam dirinya, dan memberikan cinta yang besar untuknya.
Termasuk aku. Tetapi apalah aku, aku bernapas saja dia
tak tahu.
Aku mencintainya, sungguh. Aku sangat sayang padanya. Bukan
sayang padanya sebagai seorang laki-laki, tapi mungkin lebih dari itu.
Entahlah, memang sangat sulit untuk menjelaskannya. Lamda adalah inspirasiku,
karena dialah aku tetap menulis walaupun terkadang lelah dan ingin berhenti.
Lamda mengajariku tentang kehidupan, dan menuliskan rasa sakitnya dalam
buku-buku karangannya.
Rasa sakit itu, rasa sakit yang bisa dirasakan pula oleh
orang-orang sepertiku.
Saat kedua mataku tertuju ke arah langit, tiba-tiba
sebuah bintang jatuh melintas. Mulutku komat-kamit memanjatkan doa. Jika Tuhan
mau mengabulkan doaku, aku punya suatu permintaan yang besar. Aku ingin pergi
ke masa lalu, bertemu dengan Lamda dan menemaninya dalam mengejar mimpi.
Merasakan rasa sakit yang sama secara langsung, dan tumbuh dewasa bersamanya.
“Ketika kau berlari dan akan menabrak seseorang yang
menghadangmu, teruslah berlari, bodoh.”
Aku memejamkan mata, membayangkan kutipan dalam salah
satu bukunya itu. Langkahku menjadi tak terkendali, dan aku benar-benar
berlari. Tidak peduli pada siapapun yang akan menghadangku, aku terus berlari.
“Aku hanya seorang bocah yang peduli pada mimpi. Aku
terlihat dingin di mata orang lain, tetapi aku ingin mereka mengerti. Tetapi,
itu tidak mungkin. Aku saja tidak mengerti dengan diriku sendiri…”
--**--**--
“YAK! YA AMPUN!”
Tiba-tiba, aku merasakan benturan yang keras dengan
seseorang. Tubuhku terhuyung, dan aku terjatuh. Perlahan kubuka kedua mataku,
dan melihat Lamda kecil sedang menatapku dengan tajam sembari memiringkan
kepalanya. Aku cepat-cepat bangkit, kemudian menatap Lamda tidak percaya.
Apakah dia memang benar-benar Lamda?
“Kenapa lari-lari sambil memejamkan mata begitu?” tanyanya.
“Maaf, maaf,” Aku terkekeh gugup, dan jantungku
berdebar-debar. Lamda terlihat berjalan sendirian di trotoar ini, sama
sepertiku. Setelah itu, kedua mata kecilnya menatap ke arah etalase toko buku
yang memuat novel-novel legendaris. Aku ingin lebih dekat dengannya, tetapi aku
merasa canggung.
“Eum,” ujarku sembari mengelus tengkuk. Kutatap
novel-novel yang ada di balik kaca toko tersebut, sama seperti yang dilakukan
Lamda saat ini. “Buku-bukunya bagus, ya,” Aku mencoba untuk berbasa-basi.
Namun, basa-basi dengan orang yang sama introvert-nya
denganmu mungkin akan menjadi hal yang buruk.
“Aku…ingin
menghiasi etalase toko itu dengan novel-novelku.” Dia bergumam, seakan menanggapi
basa-basi burukku.
Lantas aku
tersenyum, rasanya kaget juga. Ini adalah hal yang paling ajaib untukku. Tuhan
mengabulkan doaku saat bintang jatuh melintas. Tuhan mengabulkan keinginanku
untuk pergi ke masa lalu dan bertemu dengan Lamda kecil, seorang Lamda sebelum
menjadi penulis best seller Internasional
dan mengenalnya.
Ini sangat
gila, rasanya seperti berada dalam mimpi. Benar-benar tidak masuk akal, tetapi
aku ingin menikmatinya.
“Kamu punya
teman?” tanyaku. Saat dia menatapku dengan tatapan tajamnya, sontak aku
tersenyum gugup. “Ah.. iya, mak-maksudku, aku enggak keberatan kalau jadi
te-temanmu.”
Lamda masih
menatapku dengan tatapan tajamnya, membuatku merasa seperti diintimidasi.
“Kenapa kamu mau jadi temanku?”
“Ka-karena
kita punya mimpi yang sama,” jawabku. “Jadi, kupikir kita bisa berteman.”
Tak
kusangka, Lamda tersenyum tipis dan tatapannya melembut. Di bawah cahaya
rembulan dan lampu jalan yang menghiasi pinggiran trotoar, Lamda dengan versi
yang lebih muda dari Lamda yang kukenal memalingkan wajahnya dariku. Dengan
malu-malu, dia mengulurkan tangannya sembari mengusap tengkuk dengan tangan
yang satunya lagi. Aku ikut tersenyum malu, tidak berani menatap wajahnya.
Jadi, aku hanya menatap ke arah sepasang sepatu kumalku sembari menyambut
uluran tangannya.
“Sonia.”
“Lamda.”
Ya, aku
tahu itu.
“Sepertinya
kita sepantaran,” ujar Lamda. “Eh, Sonia. Perutku lapar. Apa kamu mau ikut aku
makan di restoran sekitaran sini?”
Aku menatap
Lamda yang kini terlihat malu-malu, dan juga terlihat seperti kucing kelaparan.
Rupanya, sedari dulu Lamda memang sudah mengingatkanku pada hewan kesukaanku
itu. Sekarang, aku mengerti mengapa aku begitu terobsesi padanya, selain karena
dia adalah inspirasiku. “Sebenarnya, aku belum makan siang,” ujarnya tanpa
berani menatapku. “Selama liburan aku selalu terlambat makan siang karena
kebanyakan tidur.”
Suara kekehanku
langsung keluar. Aku tahu itu, aku tahu banyak hal tentang Lamda. Media-media
mengatakan bahwa Lamda adalah pecinta tidur sejati, sampai aku berpikir bahwa
dia akan tetap tertidur di atas kasurnya walaupun kamarnya dilanda kebakaran. Rupanya,
Lamda menyadari hal itu dan ikut terkekeh. “Ayo,” katanya.
Akhirnya,
sepanjang perjalanan kami saling menanyakan makanan dan minuman kesukaan
masing-masing. Jelas aku tahu selera Lamda, karena aku selalu mencari tahu
infonya. Sebagai penulis paling berpengaruh di dunia versi sebuah majalah di
Amerika, orang-orang juga banyak mencari tahu tentang Lamda lewat mesin
pencarian di internet, dan sejumlah wawancara di berbagai talkshow. Tak hanya aku, gadis-gadis lainnya juga sangat mencintai
Lamda sampai-sampai ingin memasakkan makanan kesukaannya kelak jika mereka
menikah. Sangat delusional, menurutku. Namun, aku tidak bisa munafik juga bila
tak mengakui bahwa salah satu impianku adalah menikah dengannya.
Namun,
Lamda yang ada di sampingku saat ini hanyalah seorang bocah yang bergelut
dengan mimpinya dan sejumlah rasa sakit akibat ambisinya sendiri yang
diremehkan banyak orang. Bukankah aku sudah berharap pada Tuhan untuk ikut
merasakan rasa sakit yang dia rasakan?
“Ya ampun, kamu makan terlalu terburu-buru,”
ujarku saat melihat Lamda yang duduk di hadapanku tengah melahap nasi goreng
daging cincangnya, kemudian menghabiskan kopinya dalam sekali teguk.
Malam itu, restoran yang kami kunjungi sudah sepi
pengunjung. Hanya ada beberapa pelayan yang mengelap meja kotor dan satu
keluarga dengan satu anak kecil di salah satu sudut ruangan. Aku menatap ke
arah luar kaca jendela yang berada tepat di sampingku. Terlihat berbagai
kendaraan yang melintas di jalan dan orang-orang yang berlalu lalang di atas
trotoar.
“Kapan kamu mau menghabiskan nasi gorengmu? Apa mau kamu
bungkus saja dan nasinya kamu jadikan masker di rumah?”
Kuhela napasku perlahan sembari menatap nasi yang masih
tersisa di atas piringku. Perutku sudah kenyang. Sementara itu, Lamda kembali
memesan kopi pada pelayan yang sedang mengelap meja kotor di samping meja kami.
Dengan susah payah kuhabiskan nasi itu, ditemani omelan Lamda yang malas
menungguku terlalu lama.
“Aku enggak habis pikir, kamu makan lama banget. Apa
lambungmu terlalu malas untuk mencerna makanan?”
Aku memutar bola mata, kemudian menghabiskan nasi
gorengku dengan penuh perjuangan. Tak kusangka, Lamda mengambil sendoknya dan
mengambil sesuap nasi dari piringku. “Kubantu,” katanya.
Sontak wajahku memanas. Di luar, Lamda memang terlihat
dingin dan bicaranya menyebalkan. Namun, sebenarnya dia baik. “Kalau kamu udah
kenyang, jangan terlalu dipaksakan. Bungkus saja atau berikan padaku. Jangan
memaksakan diri,” katanya sembari menyuapkan nasi ke mulutnya. Saat aku melihat
kedua pipi putihnya yang menggembung ketika mengunyah makanan, aku menahan
hasrat seorang gadisku untuk tidak berteriak.
--**--**--
(Bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar