Minggu, 16 September 2018

Cerpen | Saat Bintang Terjatuh (bagian 1)


Malam itu, di bawah kumpulan konstelasi dan cahaya rembulan yang berbentuk seperti setengah telur dadar, aku berjalan sendirian menyusuri kota. Kurapatkan jaket hitam tebal kesayanganku untuk menghalau angin yang berusaha untuk menusuk. Langkahku berjalan menyusuri trotoar, berpapasan dengan orang-orang yang berjalan bersama-sama. Lampu di sudut-sudut pertokoan seakan menampilkan etalase dengan barang-barang yang terpajang dengan apik di sana, serta buku-buku best seller dengan judul yang sama. Ketika aku melewati toko televisi, wajah yang sama muncul di balik layar yang berjajar memenuhi etalase.
Aku menghela napas. Siapa yang tidak mengenalnya?
Lamda. Seorang laki-laki berusia 20 tahun yang terlihat dingin, dan wajahnya pucat seperti vampir yang biasa kulihat di film-film. Namun, terkadang dia juga terlihat seperti anak kucing dalam kardus yang menunggu pengasuh. Popularitas menyelubungi wajahnya, dia seperti wajah baru dunia. Buku-buku karangannya berjejer di seluruh toko buku, toko buku di seluruh belahan dunia. Para gadis berbisik-bisik membicarakannya, mengagumi segala aspek dari dalam dirinya, dan memberikan cinta yang besar untuknya.
Termasuk aku. Tetapi apalah aku, aku bernapas saja dia tak tahu.
Aku mencintainya, sungguh. Aku sangat sayang padanya. Bukan sayang padanya sebagai seorang laki-laki, tapi mungkin lebih dari itu. Entahlah, memang sangat sulit untuk menjelaskannya. Lamda adalah inspirasiku, karena dialah aku tetap menulis walaupun terkadang lelah dan ingin berhenti. Lamda mengajariku tentang kehidupan, dan menuliskan rasa sakitnya dalam buku-buku karangannya.
Rasa sakit itu, rasa sakit yang bisa dirasakan pula oleh orang-orang sepertiku.
Saat kedua mataku tertuju ke arah langit, tiba-tiba sebuah bintang jatuh melintas. Mulutku komat-kamit memanjatkan doa. Jika Tuhan mau mengabulkan doaku, aku punya suatu permintaan yang besar. Aku ingin pergi ke masa lalu, bertemu dengan Lamda dan menemaninya dalam mengejar mimpi. Merasakan rasa sakit yang sama secara langsung, dan tumbuh dewasa bersamanya.
“Ketika kau berlari dan akan menabrak seseorang yang menghadangmu, teruslah berlari, bodoh.”
Aku memejamkan mata, membayangkan kutipan dalam salah satu bukunya itu. Langkahku menjadi tak terkendali, dan aku benar-benar berlari. Tidak peduli pada siapapun yang akan menghadangku, aku terus berlari.
“Aku hanya seorang bocah yang peduli pada mimpi. Aku terlihat dingin di mata orang lain, tetapi aku ingin mereka mengerti. Tetapi, itu tidak mungkin. Aku saja tidak mengerti dengan diriku sendiri…”
--**--**--

“YAK! YA AMPUN!”
Tiba-tiba, aku merasakan benturan yang keras dengan seseorang. Tubuhku terhuyung, dan aku terjatuh. Perlahan kubuka kedua mataku, dan melihat Lamda kecil sedang menatapku dengan tajam sembari memiringkan kepalanya. Aku cepat-cepat bangkit, kemudian menatap Lamda tidak percaya. Apakah dia memang benar-benar Lamda?
“Kenapa lari-lari sambil memejamkan mata begitu?” tanyanya.
“Maaf, maaf,” Aku terkekeh gugup, dan jantungku berdebar-debar. Lamda terlihat berjalan sendirian di trotoar ini, sama sepertiku. Setelah itu, kedua mata kecilnya menatap ke arah etalase toko buku yang memuat novel-novel legendaris. Aku ingin lebih dekat dengannya, tetapi aku merasa canggung.
“Eum,” ujarku sembari mengelus tengkuk. Kutatap novel-novel yang ada di balik kaca toko tersebut, sama seperti yang dilakukan Lamda saat ini. “Buku-bukunya bagus, ya,” Aku mencoba untuk berbasa-basi. Namun, basa-basi dengan orang yang sama introvert-nya denganmu mungkin akan menjadi hal yang buruk.
“Aku…ingin menghiasi etalase toko itu dengan novel-novelku.” Dia bergumam, seakan menanggapi basa-basi burukku.
Lantas aku tersenyum, rasanya kaget juga. Ini adalah hal yang paling ajaib untukku. Tuhan mengabulkan doaku saat bintang jatuh melintas. Tuhan mengabulkan keinginanku untuk pergi ke masa lalu dan bertemu dengan Lamda kecil, seorang Lamda sebelum menjadi penulis best seller Internasional dan mengenalnya.
Ini sangat gila, rasanya seperti berada dalam mimpi. Benar-benar tidak masuk akal, tetapi aku ingin menikmatinya.
“Kamu punya teman?” tanyaku. Saat dia menatapku dengan tatapan tajamnya, sontak aku tersenyum gugup. “Ah.. iya, mak-maksudku, aku enggak keberatan kalau jadi te-temanmu.”
Lamda masih menatapku dengan tatapan tajamnya, membuatku merasa seperti diintimidasi. “Kenapa kamu mau jadi temanku?”
“Ka-karena kita punya mimpi yang sama,” jawabku. “Jadi, kupikir kita bisa berteman.”
Tak kusangka, Lamda tersenyum tipis dan tatapannya melembut. Di bawah cahaya rembulan dan lampu jalan yang menghiasi pinggiran trotoar, Lamda dengan versi yang lebih muda dari Lamda yang kukenal memalingkan wajahnya dariku. Dengan malu-malu, dia mengulurkan tangannya sembari mengusap tengkuk dengan tangan yang satunya lagi. Aku ikut tersenyum malu, tidak berani menatap wajahnya. Jadi, aku hanya menatap ke arah sepasang sepatu kumalku sembari menyambut uluran tangannya.
“Sonia.”
“Lamda.”
Ya, aku tahu itu.
“Sepertinya kita sepantaran,” ujar Lamda. “Eh, Sonia. Perutku lapar. Apa kamu mau ikut aku makan di restoran sekitaran sini?”
Aku menatap Lamda yang kini terlihat malu-malu, dan juga terlihat seperti kucing kelaparan. Rupanya, sedari dulu Lamda memang sudah mengingatkanku pada hewan kesukaanku itu. Sekarang, aku mengerti mengapa aku begitu terobsesi padanya, selain karena dia adalah inspirasiku. “Sebenarnya, aku belum makan siang,” ujarnya tanpa berani menatapku. “Selama liburan aku selalu terlambat makan siang karena kebanyakan tidur.”
Suara kekehanku langsung keluar. Aku tahu itu, aku tahu banyak hal tentang Lamda. Media-media mengatakan bahwa Lamda adalah pecinta tidur sejati, sampai aku berpikir bahwa dia akan tetap tertidur di atas kasurnya walaupun kamarnya dilanda kebakaran. Rupanya, Lamda menyadari hal itu dan ikut terkekeh. “Ayo,” katanya.
Akhirnya, sepanjang perjalanan kami saling menanyakan makanan dan minuman kesukaan masing-masing. Jelas aku tahu selera Lamda, karena aku selalu mencari tahu infonya. Sebagai penulis paling berpengaruh di dunia versi sebuah majalah di Amerika, orang-orang juga banyak mencari tahu tentang Lamda lewat mesin pencarian di internet, dan sejumlah wawancara di berbagai talkshow. Tak hanya aku, gadis-gadis lainnya juga sangat mencintai Lamda sampai-sampai ingin memasakkan makanan kesukaannya kelak jika mereka menikah. Sangat delusional, menurutku. Namun, aku tidak bisa munafik juga bila tak mengakui bahwa salah satu impianku adalah menikah dengannya.
Namun, Lamda yang ada di sampingku saat ini hanyalah seorang bocah yang bergelut dengan mimpinya dan sejumlah rasa sakit akibat ambisinya sendiri yang diremehkan banyak orang. Bukankah aku sudah berharap pada Tuhan untuk ikut merasakan rasa sakit yang dia rasakan?
“Ya ampun, kamu makan terlalu terburu-buru,” ujarku saat melihat Lamda yang duduk di hadapanku tengah melahap nasi goreng daging cincangnya, kemudian menghabiskan kopinya dalam sekali teguk.
Malam itu, restoran yang kami kunjungi sudah sepi pengunjung. Hanya ada beberapa pelayan yang mengelap meja kotor dan satu keluarga dengan satu anak kecil di salah satu sudut ruangan. Aku menatap ke arah luar kaca jendela yang berada tepat di sampingku. Terlihat berbagai kendaraan yang melintas di jalan dan orang-orang yang berlalu lalang di atas trotoar.
“Kapan kamu mau menghabiskan nasi gorengmu? Apa mau kamu bungkus saja dan nasinya kamu jadikan masker di rumah?”
Kuhela napasku perlahan sembari menatap nasi yang masih tersisa di atas piringku. Perutku sudah kenyang. Sementara itu, Lamda kembali memesan kopi pada pelayan yang sedang mengelap meja kotor di samping meja kami. Dengan susah payah kuhabiskan nasi itu, ditemani omelan Lamda yang malas menungguku terlalu lama.
“Aku enggak habis pikir, kamu makan lama banget. Apa lambungmu terlalu malas untuk mencerna makanan?”
Aku memutar bola mata, kemudian menghabiskan nasi gorengku dengan penuh perjuangan. Tak kusangka, Lamda mengambil sendoknya dan mengambil sesuap nasi dari piringku. “Kubantu,” katanya.
Sontak wajahku memanas. Di luar, Lamda memang terlihat dingin dan bicaranya menyebalkan. Namun, sebenarnya dia baik. “Kalau kamu udah kenyang, jangan terlalu dipaksakan. Bungkus saja atau berikan padaku. Jangan memaksakan diri,” katanya sembari menyuapkan nasi ke mulutnya. Saat aku melihat kedua pipi putihnya yang menggembung ketika mengunyah makanan, aku menahan hasrat seorang gadisku untuk tidak berteriak.

--**--**--
(Bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sebuah Esai Part 2 | Identitas Nasional